Labels

Cari di blog ini

Bisnis Development Diary Rezeki

Cara Naikin Fee Rate Freelancing (Part 1)

2 comments
"Mahal banget Mas? ini kan cuma website biasa. 200 ribu aja lah.."
"Enak banget jadi programmer, sekali proyek bisa dapet jutaan."
"Tolong ditambah ya fiturnya, jadi begini-begitu-blabla-blibli-ayee"
"Bisa diusahakan ga? Minggu depan harus udah launching nih"
"Desainnya bisa diganti jadi gini aja ga? yang kemaren terlalu kaku"
Posting ini berarti buat para programmer (atau profesi lain) yang nyari nafkah dengan cara freelance atau self employee alias kerja sendiri, cari proyek sendiri, ga nempel atau digaji sama perusahaan. Tapi bisa aja sih kalo non-freelancer mau baca. Bahkan kayaknya mesti baca juga, mesti tau. Toh, mau kerjaan apapun, ga semudah buka tangan dan terima uang. Pengusaha sekalipun, yang penghasilannya gede banget (buat sebagian orang, buat dia sih biasa aja), dia punya pekerjaan yang tetep harus dia selesaikan, paling tidak harus ada yang diinisiasi, supaya proses bisnisnya jalan.

Saya sudah ngoding sejak SMP, jadi hobi sejak SMA, dan mulai menjadikannya profesi sejak jadi mahasiswa. Kadang hobi jadi ga mengasyikkan ketika berubah jadi profesi, apalagi kalo profesi yang kita tekuni tidak atau belum sesuai dengan harapan.

Punten nya prolog dulu. hehe.. Awal kisah profesi ini saya dapatkan pas semester dua, gabung proyekan sama kakak angkatan dan dosen. Begitu beberapa lama, sampai akhirnya saya memutuskan buat nyoba kerja di suatu perusahaan yang ada kerjaan ngodingnya. Setahun kerja, capek, 9 sampai 17 Senin sampai Jumat, penghasilan rasanya ga lebih gede dari cari proyekan sendiri. Akhirnya resign, dan nyoba cari proyekan sendiri alias freelancing. Cari di Elance.com, Freelancer.com, lumayan repot. Selain bahasa inggris saya yang masih berantakan, portfolio juga kurang banyak yang meyakinkan. Kalo mau digeluti terus sebenernya bisa, cuma jadi males dan memilih cari proyekan lokal.

Singkat cerita, saya dapet beberapa proyekan lokal, bikin website, aplikasi desktop, dan ternyata hasil hitungan saya meleset. Hitungan yang dimaksud adalah dengan cari proyekan sendiri, penghasilan mestinya lebih gede daripada jadi pekerja kantor. Nyatanya, memang harga proyek rata-rata lebih besar dari gaji kantor, tapi kalo dirata-ratakan per bulannya justru ga jauh beda dengan gaji bulanan dulu, yang malah dengan freelancing waktu yang tersita lebih banyak, tenaga yang dikeluarkan lebih besar. Saya harus nganalisis, bikin desain, bikin aplikasinya, sampai-sampai waktu di luar 9-17 pun kepake buat beresin ini. Hahaha.. ternyata.

Memang, bikin aplikasi itu menyenangkan buat saya, tapi hal itu benar-benar menguras tenaga pikiran dan waktu. Bahkan, karena hal ini seolah sudah menjadi kesepakatan umum myoritas programmer, saya dan teman-teman sering mengejek diri kami sendiri dengan istilah kuli ngoding. Gitulah, ngoding itu kuli, sama seperti kuli bangunan yang ngaduk semen, nyusun-nyusun bata, rapihin bingkai pintu, pasang kaca, nge-plester, ngecat. Sama programmer juga, masang-masang kode, bahkan untuk beberapa kasus mesti ngeborong kerjaan desain juga, sampai rumahnya beres, aplikasinya beres. Jadi sekali lagi, sama sebenernya, mau profesi apapun, ada effort yang mesti dikeluarkan sesuai dengan profesinya. Kalo dulu saya sempat menganggap jadi pengusaha itu lebih baik daripada jadi karyawan, sekarang saya sadar, mau jadi apapun tetep harus punya karya yang bermanfaat kalo beruntung.

Yah, kembali ke soal harga kerja freelancer, terutama programmer. Evaluasinya, mungkin pertama karena saya kurang gesit cari proyek, kedua saya masih kurang mahir deal-dealan harga proyek. Dari sini saya berkesimpulan untuk memasang harga lebih besar dari yang sebelumnya, yang sesuai dengan harapan penghasilan per bulan saya. Sampai di kesimpulan ini, nyatanya belum final. Setinggi apapun kita pasang harga, pasti akan tetep mentok di angka tertentu yang dapat diterima oleh klien kita. Lebih dari angka itu mereka rata-rata akan menolak melanjutkan, dengan alasan, karena kita freelance dan bukan perusahaan. Memang bisa kita maklumi bila suatu perusahaan enggan mengeluarkan biaya besar untuk pembuatan sistem atau aplikasi kepada freelancer. Alasannya karena pertanggungjawaban yang lebih lemah daripada bila mereka menyerahkan proyek ke perusahaan. Perusahaan seperti software house yang sudah punya pegawai dan kantor nampak lebih meyakinkan buat klien besar karena mereka tidak khawatir bila sewaktu-waktu ada masalah dengan sistemnya, tinggal telepon perusahaannya, atau datangi kantornya.

So, kesimpulan terakhir saya tentang menjadi freelancer ini, kalo mau dapet proyekan besar, ya jadilah perusahaan, minimalnya punya label yang sah dan punya kantor yang bisa dihubungi, kecuali kalo sudah merasa cukup dengan harga kerja freelancing.

Ada beberapa trik atau cara yang saya kira bisa menyiasati hal ini. Artinya gimana caranya supaya bisa dapet harga kerja (fee rate) maksimal sebagai freelancer dengan segala keterbatasan yang ada. Tapi karena sekarang (waktu saya nulis ini) sudah masuk waktu kerja saya, jadi yaa gitulah, buat trik-trik a la Toni nya besok saya sambung, insya Allah. :)

2 komentar:

  1. Berarti kalau mau menjadi programmer freelance sedikitnya harus memiliki kemampuan marketing juga ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa iya bisa juga engga, besok saya jelasin kenapanya. :)

      Hapus

terima kasih sebelumnya untuk tanggapannya ^_^