Labels

Cari di blog ini

Bisnis Development Impression mumble

Startup is not about popularity, it is about a business.

Silakan Ngomen
Daily Refleksi Tafakur

Putar, dan Rasakan

Silakan Ngomen
Judulnya engga banget hahaha.. Asbabun nuzulnya ialah, ketika barusan, yaitu malam hari sekitar jam sepuluh, saya merendam handuk kecil yang saya pakai ngelap ingus waktu flu minggu lalu. Itu handuk saya cuci buat nantinya saya pake ngompres istri saya yang lagi demam. Saya cuci dulu supaya ketika dipakai ngompres, tidak ada ingus kering yang jadi basah dan licin kembali lalu menempel di jidat istri saya. Meskipun dia tidak akan tau, tapi tidak tega rasanya kalo harus liat ada ingus nempel di jidatnya.

Bersambung ke asbabun nuzul judul. Saat hendak nyuci handuk kecil itu, warnanya oranye. Ketika mulai dicuci pun tetap oranye. Karena khawatir ingusnya tidak luntur, maka saya ingin tambahkan detergen. Detergennya ada di dalam toples plastik. Saya buka tutup toples itu. Lumayan susah. Saya coba lebih kuat lagi. Masih susah. Kok rasanya makin keras saya putar, makin susah dibuka yah. Saya lalu cuci dulu tangan saya. Maksudnya biar engga licin karena ada butiran detergen yang udah nempel di tangan saya.

Percobaan kedua saya buka lagi tutup toples itu dan, wow, mudah sekali. Saya lihat ke ember air, dan bertanya-tanya, apakah barusan saya baru saja mencuci tangan dengan air ajaib. Saya tutup lagi toples itu. Saya buka dengan keras dan sulit sekali terbuka. Saya kendorkan tenaga, dan, Wow.. mudah sekali terbukanya. Saya yakin, Kamu pun pasti pernah mengalaminya.

Seketika itu saya langsung teringat adegan film, entah film apa, yang mana adegannya ada orang tua yang kesulitan melepaskan tutup toples. Lalu di tengah keseriusannya membuka tutup toples itu, datang anak kecil meminta toples itu dan ia pun membukanya, dengan mudah. Orang tua itu terheran-heran sambil mengerungkan dahinya. Rasanya sulit dipercaya. Apakah itu cerita si Superman saat masih kecil? Entahlah, tapi mungkin itu adalah wow seperti wow yang saya lontarkan di awal tadi. Mungkin terlihat lucu, tapi itu sangat mungkin. You know lah, leher toples kejepit, gaya gesekan membesar, dan sebagainya dan sebagainya.

Hikmah yang bisa saya tangkap di malam yang panas ini, salah satunya adalah, seringkali kita bersikeras mencapai sesuatu tapi pada akhirnya kita kelelahan dan kecewa. Tapi ada kalanya kita memasrahkan sesuatu dan tiba-tiba sesuatu itu malah datang menghampiri. Yaa, dan sebagainya lah. Kalo Kamu, kira-kira hikmah apa yang kepikiran??
Daily Mikir Refleksi Tafakur

Bukan "Karena Cinta"-nya, tapi "Karena Allah"-nya

Silakan Ngomen
“Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” [HR Bukhari]
Sudahkah kita bersahabat dan bersaudara karena Allah? Lalu sudahkah kita mencintai seseorang, siapapun itu, karena Allah? Pernahkah kau mengatakan, atau terbesit dalam hati untuk mengatakan, kepada seseorang dari lawan jenismu, "aku mencintaimu karena Allah"? Kalo pernah, cobalah cek, mampukah kau merelakan orang yang kau cintai itu untuk saudaramu "karena Allah"? Wow, mungkin itu sesuatu yang berat, atau sangat berat. Tapi, sesungguhnya yang utama itu bukan 'cinta'-nya, tapi 'karena Allah'-nya.

Mari kita simak sepenggal kisah indah, antara Salman al-Farisi dan Abu Darda`, dua orang shahabat Nabi SAW. Salman berasal dari Persia, ikut rombongan hijrah Nabi ke Madinah. Setelah tiba di Madinah, Nabi SAW. kemudian mempersaudarakan para shahabat yang ikut hijrah, kita sebut Muhajirin, dengan shahabat dari Madinah yang menerima kedatangan para Muhajirin, yang kita sebut dengan shahabat Anshar. Salahsatu yang dipersaudarakan adalah Salman dan Abu Darda`.

Suatu waktu, Salman menyukai seorang wanita shalihah dari kaum Anshar. Sudah bulat tekadnya untuk meminangnya. Namun walau bagaimanapun Madinah masih terasa asing olehnya. Madinah bukan tempat ia dilahirkan dan tumbuh dewasa. Madinah punya bahasa dan adat kebiasaan yang belum terlalu dikenalnya. Harus ada orang yang akrab dengan adat Madinah untuk membantunya sebagai juru bicara saat khitbah. Maka disampaikanlah niatan hatinya kepada saudaranya, Abu Darda.

”Subhanallaah. . wal hamdulillaah. .”, Abu Darda’ senang mendengarnya. Keduanya tersenyum bahagia dan berpelukan. Mereka menyiapkan segala sesuatunya untuk mengkhitbah wanita shalihah yang menjadi tujuan hati Salman. Setelah persiapan dirasa cukup, mereka pun pergi ke rumah wanita itu.

”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abu Darda’ berbicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.

”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.”

Abu Darda dan Salman menunggu dengan berdebar-debar. Hingga sang ibu muncul kembali setelah berbincang-bincang dengan puterinya.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Keterusterangan yang disampaikan sang ibu di luar dugaan kedua shahabat itu. Tapi apa reaksi Salman?

”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”

Wow. Coba Kamu bayangkan, bagaimana kalo kita ada pada posisi Abu Darda`. Kalo saya pasti kikuk dan ga enak lah sama saudara saya sendiri. Ini benar-benar diluar dugaan. Yang dalam dugaan kan paling cuma dua jawabannya, menerima atau menolak. Tapi ini ada opsi lain. Menolak dan akan menerima kalo Abu Darda` yang melamarnya. Kalo di versi sinetron mungkin akan sangat lebay pisan.

Hey, coba bayangkan juga kalo kita ada di posisi Salman. Ditembak sama jawaban begitu oleh ibu sang wanita, kita harus mampu memberi respon yang tepat, atau lebih tepatnya, mengkondisikan hati untuk merespon jawaban tersebut. Saya bisa saja menjawab "ya sudah sama Kamu saja Bro", tapi apakah hati saya juga mampu mengatakan hal yang sama?

Hmmm.. Salman, sekalipun bukan saudara kandung, melainkan dipersaudarakan oleh Nabi, persaudaraan yang jauh lebih erat dari persaudaraan apapun, dengan senang hati merelakan apa yang dicintainya untuk saudaranya. Di satu sisi memang punya hak apa Salman melarang Abu Darda` untuk lantas meminang wanita tersebut. Tapi di luar hal tersebut, Salman punya kerelaan hati, yang saya yakin tidak akan pernah dimiliki oleh Salman kalo dia tidak mencintai karena Allah.

Bila Kamu dihadapkan oleh situasi yang serupa, apakah Kamu akan mempertahankan egomu untuk mencintai sang wanita meskipun cinta itu tidak akan pernah terbalas, yang mungkin akan berujung pada keretakan persaudaraanmu? Bisa saja kan endingnya, saudaramu mengalah dan kalian pulang dengan tangan hampa. Kamu tau saudaramu juga pasti ga enak hati dong, apalagi liat respon kamu kayak gitu. Tapi, terlepas dari saudaramu itu suka atau tidak sama wanita tadi, terlepas dari saudaramu akan melamar atau tidak wanita tadi, mampukah Kamu merelakan rasa cintamu untuk kemudian diberikan kepada saudaramu? That's the question. :)

Tambahan. Sekedar motivasi. Allah memberi jaminan perlindungan kepada 7 golongan orang di akhirat nanti. Salahsatunya adalah dua orang yang mencintai karena Allah, bertemu karena Allah dan berpisah karena Allah. Kalo Kamu mencintai seseorang, pastikan cintamu karena Allah. Bagaimana caranya mencintai karena Allah? Yaa, saya kira jawaban yang baru saja saya temukan, yang paling tepat hingga saat ini buat saya adalah, "bukan 'karena cinta'-nya, tapi 'karena Allah'-nya. Mampukah faktor 'karena Allah' itu tetap ada ketika cinta dan orang yang dicintai kandas?"


---
rujukan: http://blog.al-habib.info/id/2012/03/kisah-cinta-dan-kebesaran-hati-salman-al-farisi.html