“Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” [HR Bukhari]Sudahkah kita bersahabat dan bersaudara karena Allah? Lalu sudahkah kita mencintai seseorang, siapapun itu, karena Allah? Pernahkah kau mengatakan, atau terbesit dalam hati untuk mengatakan, kepada seseorang dari lawan jenismu, "aku mencintaimu karena Allah"? Kalo pernah, cobalah cek, mampukah kau merelakan orang yang kau cintai itu untuk saudaramu "karena Allah"? Wow, mungkin itu sesuatu yang berat, atau sangat berat. Tapi, sesungguhnya yang utama itu bukan 'cinta'-nya, tapi 'karena Allah'-nya.
Mari kita simak sepenggal kisah indah, antara Salman al-Farisi dan Abu Darda`, dua orang shahabat Nabi SAW. Salman berasal dari Persia, ikut rombongan hijrah Nabi ke Madinah. Setelah tiba di Madinah, Nabi SAW. kemudian mempersaudarakan para shahabat yang ikut hijrah, kita sebut Muhajirin, dengan shahabat dari Madinah yang menerima kedatangan para Muhajirin, yang kita sebut dengan shahabat Anshar. Salahsatu yang dipersaudarakan adalah Salman dan Abu Darda`.
Suatu waktu, Salman menyukai seorang wanita shalihah dari kaum Anshar. Sudah bulat tekadnya untuk meminangnya. Namun walau bagaimanapun Madinah masih terasa asing olehnya. Madinah bukan tempat ia dilahirkan dan tumbuh dewasa. Madinah punya bahasa dan adat kebiasaan yang belum terlalu dikenalnya. Harus ada orang yang akrab dengan adat Madinah untuk membantunya sebagai juru bicara saat khitbah. Maka disampaikanlah niatan hatinya kepada saudaranya, Abu Darda.
”Subhanallaah. . wal hamdulillaah. .”, Abu Darda’ senang mendengarnya. Keduanya tersenyum bahagia dan berpelukan. Mereka menyiapkan segala sesuatunya untuk mengkhitbah wanita shalihah yang menjadi tujuan hati Salman. Setelah persiapan dirasa cukup, mereka pun pergi ke rumah wanita itu.
”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abu Darda’ berbicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.
”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.”
Abu Darda dan Salman menunggu dengan berdebar-debar. Hingga sang ibu muncul kembali setelah berbincang-bincang dengan puterinya.
”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Keterusterangan yang disampaikan sang ibu di luar dugaan kedua shahabat itu. Tapi apa reaksi Salman?
”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
Wow. Coba Kamu bayangkan, bagaimana kalo kita ada pada posisi Abu Darda`. Kalo saya pasti kikuk dan ga enak lah sama saudara saya sendiri. Ini benar-benar diluar dugaan. Yang dalam dugaan kan paling cuma dua jawabannya, menerima atau menolak. Tapi ini ada opsi lain. Menolak dan akan menerima kalo Abu Darda` yang melamarnya. Kalo di versi sinetron mungkin akan sangat lebay pisan.
Hey, coba bayangkan juga kalo kita ada di posisi Salman. Ditembak sama jawaban begitu oleh ibu sang wanita, kita harus mampu memberi respon yang tepat, atau lebih tepatnya, mengkondisikan hati untuk merespon jawaban tersebut. Saya bisa saja menjawab "ya sudah sama Kamu saja Bro", tapi apakah hati saya juga mampu mengatakan hal yang sama?
Hmmm.. Salman, sekalipun bukan saudara kandung, melainkan dipersaudarakan oleh Nabi, persaudaraan yang jauh lebih erat dari persaudaraan apapun, dengan senang hati merelakan apa yang dicintainya untuk saudaranya. Di satu sisi memang punya hak apa Salman melarang Abu Darda` untuk lantas meminang wanita tersebut. Tapi di luar hal tersebut, Salman punya kerelaan hati, yang saya yakin tidak akan pernah dimiliki oleh Salman kalo dia tidak mencintai karena Allah.
Bila Kamu dihadapkan oleh situasi yang serupa, apakah Kamu akan mempertahankan egomu untuk mencintai sang wanita meskipun cinta itu tidak akan pernah terbalas, yang mungkin akan berujung pada keretakan persaudaraanmu? Bisa saja kan endingnya, saudaramu mengalah dan kalian pulang dengan tangan hampa. Kamu tau saudaramu juga pasti ga enak hati dong, apalagi liat respon kamu kayak gitu. Tapi, terlepas dari saudaramu itu suka atau tidak sama wanita tadi, terlepas dari saudaramu akan melamar atau tidak wanita tadi, mampukah Kamu merelakan rasa cintamu untuk kemudian diberikan kepada saudaramu? That's the question. :)
Tambahan. Sekedar motivasi. Allah memberi jaminan perlindungan kepada 7 golongan orang di akhirat nanti. Salahsatunya adalah dua orang yang mencintai karena Allah, bertemu karena Allah dan berpisah karena Allah. Kalo Kamu mencintai seseorang, pastikan cintamu karena Allah. Bagaimana caranya mencintai karena Allah? Yaa, saya kira jawaban yang baru saja saya temukan, yang paling tepat hingga saat ini buat saya adalah, "bukan 'karena cinta'-nya, tapi 'karena Allah'-nya. Mampukah faktor 'karena Allah' itu tetap ada ketika cinta dan orang yang dicintai kandas?"
---
rujukan: http://blog.al-habib.info/id/2012/03/kisah-cinta-dan-kebesaran-hati-salman-al-farisi.html
0 tanggapan:
Posting Komentar
terima kasih sebelumnya untuk tanggapannya ^_^