Sumber: pixabay.com |
Suatu ketika salah seorang temanku berkata padaku tentang dirinya, "Urang mah jelemana te pandai bersosialisasi" (saya ini orang yang tidak pandai bersosialisasi).
Perkataan itu mengingatkanku pada diriku, yang beberapa tahun lalu aku sering sekali mengatakannya. Waktu itu, jaman-jaman SMA (Sekolah Madrasah Aliyah), yang mana aku baru sadar kalo aku ternyata waktu SMP sombong. Padahal dulu SMP itu orang-orang udah banyak bilang aku sombong, tapi aku ga peduli. Aku hanya membela diri. "Pendiam itu bukan berarti sombong kan, Bu?" kataku pada wali kelasku.
"Tapi kamu mah da engga pendiem" jawab bu guru.
Baru pada akhirnya aku mengakui hal itu, di kelas transisi, SMP bukan karena sudah lulus, SMA pun bukan karena belum terdaftar. Rasanya seperti penghuni ashabul a'raaf, masuk neraka engga, masuk surga pun belum bisa. Harus nunggu dulu. Tapi SMP ga serupa dengan neraka, kecuali tentang aku yang waktu itu sombong. Kelas itu bernama DW (Diniyah Wustha). Sayangnya posting ini bukan pengen jelasin kisah di DW. Mungkin lain waktu saja. Anggap aja flashback. Sekarang kembali ke alur maju.
Setelah sekitar dua tahun masuk kuliah, aku bertekad untuk mendobrak kebiasaanku dulu yang boleh dibilang antisosial. Dulu, lebih baik mencari jalan lain daripada harus papasan dengan temen atau guru. Dulu, alih-alih menyapa duluan, yang ada malah aku angkat telepon lalu ngobrol dengan telepon. Dulu, daripada nyusulin dosen buat memperbaiki nilai yang BL, aku lebih memilih mengulang ngontrak mata kuliah. Alasannya sama, sebisa mungkin meminimalisir interaksi dengan manusia. Parah pisan! Padahal akunya juga manusia. Setelah lewat beberapa tahun ini, aku merasa berkembang, meskipun sindrom itu terkadang muncul.
Ternyata setelah memaksakan diri berinteraksi, belajar berbasa-basi, memulai menyapa dan tersenyum, ada sesuatu yang baru yang belum pernah aku temukan sebelumnya. Ada pengetahuan yang belum pernah aku cicipi sebelumnya. Ada kesenangan dan keasyikan tersendiri ketika bertemu orang-orang. Semuanya kurasakan selalu baru. Aku jadi senang memperhatikan orang-orang, kepoin orang. Dan hasilnya sungguh menakjubkan! Aku sudah tau kalo setiap manusia itu unik, tapi sekarang aku menyadarinya!
Pernah dulu punya ide buat bikin database temen-temen (lagi jamannya kuliah basdat). Disitu aku masukin semua data dan informasi temen-temenku, mulai dari biodatanya, hobinya, dengan nama apa mereka senang dipanggil, sampai hasil pengamatanku tentang mereka. Kalo kemaren nonton Sherlock BBC season 3, mirip kayak si Magnussen, cuma dia menyimpan semua informasi itu di kepalanya.
Malem kemarin aku abis kepoin (bahasa apa sih kepoin?!) anak ilkom yang punya sodara yang badannya lebih gede padahal ia adiknya. Tadi malem baru kepoin lagi anak ilkom yang ternyata dia punya saudara kembar. Awalnya aku kira dia punya dua akun FB, karena kedua nama akunnya yang panjang itu cuma beda satu huruf. Dia punya blog bagus dan enak dibaca. Kisahnya dan tulisannya juga menarik. Sekali lagi Allah mengajarkanku tentang manusia dan kisah mereka yang unik dan menarik.
Aku inget punya temen namanya Ricko, dipanggilnya Cko. Dia pernah bilang kalo dia ga bisa konsen ngoding, ga mood kerja, kalo hasrat berinteraksinya belum terpenuhi. Dia sampe punya jatah waktu khusus buat berinteraksi dengan orang-orang setiap harinya. Aku berandai-andai gimana rasanya begitu. Makanya senin kemarin itu aku sampe mentargetkan diri untuk menyapa minimal 10 orang setiap harinya sebelum memulai bekerja. But you may know, sisa-sisa sindrom antisosial itu masih ada di dalam diriku. Aku tidak melawannya, aku cuma membiarkannya supaya mudah-mudahan ia bosan untuk menghasutku lagi.
Malam ini jam 2, masih ada 3 orang terjaga di lab, 4 denganku. Ada Kukuh yang lagi all out bikin something special buat someonenya, Raksa yang lagi chatting sama cewe, dan Ghiffari yang lagi golar-goler mikirin tubesnya, sampe bujalnya yang nyembul itu melototin aku seraya bilang "kapan lo mau tiduuur??"
haha baru tau ada orang yg di jatah untuk berinteraksi dengan orang... *respect
BalasHapusAslina Broh
Hapus