Labels

Cari di blog ini

Cerpen

Panggung Berjeruji

Silakan Ngomen
"sshh.. tiriss..", terdengar eluhan sesekali. Pemuda yang duduk di balik teralis menggigil di dalam sepotong kaus kedodoran, tangannya dimasukkan ke dalam baju, juga kakinya. Kepalanya sesekali dibenturkan ke tembok, sesekali ke teralis. Pintu kamarnya kini adalah teralis. Ya, teralis, setelah satu dua pintu kayu hancur dipukulinya. Pemuda malang, menggigil dikelitiki angin sore yang menghembus lewat sela-sela teralis jendela, tanpa kaca, tanpa gorden, hanya teralis. Ya, teralis yang menggantikan satu dua jendela kaca yang habis dipukulinya. berserakan, menyisakan darah kering.



"miii.. lapar..", sesekali matanya tertutup, mulutnya komat kamit tak karuan. Seolah mengeluh kepada orang-orang tak berwujud yang mengitarinya. Tangannya menyembul dari dalam lengan kausnya, memungut puntung rokok yang mulai padam, menghisapnya, menelannya.

Sudah tujuh borgol rantai putus dari tangannya. Tinggal menunggu borgol yang kini masih memegang erat tangannya dan borgol lain setelahnya. Dua dipan lantak di bawah kakinya. Puluhan helai pakaian, sarung, dan karpet teronggok terpotong-potong kecil di sudut rumah, di dalam karung, basah, bau. Lantai kamarnya kini hanya semen dingin basah amis yang kemudian semakin kotor kalau bukan karena kesabaran seorang tua yang senantiasa menyiramnya dengan belasan ember air, lalu menyodok keluar semua kotoran yang ada.

"Mii.. lapar, Luki hoyong dahar.." rintihnya. Seorang wanita setengah baya hanya bisa menangis tanpa menyisakan air mata. sesekali menyeka hidungnya dengan pergelangan baju. Ia membawakan segumpal nasi dan sepotong paha ayam goreng dalam kantong keresek dan menyimpannya perlahan di lantai, mendorongnya melalui sela teralis hitam berbau karat. Pemuda itu membuka matanya. Giginya berhenti menggeretak. Ia membuka keresek itu lebar-lebar dan melahap nasi itu suap demi suap. Ia masih tenang dan hening, sebelum akhirnya tiba-tiba segenggam nasi meluncur tanpa rintangan ke arah wanita tua itu. Beruntung sang wanita bisa menjatuhkan badannya ke belakang, menghindari lemparan. Nasi menumbuk tembok, sebagiannya menempel dan sebagian lagi jatuh. Wanita itu, ibunya, mengangkat dada, mengusapnya, dan menangis. Ingin rasanya membelai sang anak tercinta, entah sakit apa gerangan yang menimpanya, tapi teralis menjadi ruang batas paling jauh yang tak mampu dilaluinya. Teralis besi, dan teralis udara yang menyampaikan cahaya mata tajam penuh benci dari mata sang pemuda, seolah ada dendam yang bergejolak ingin lepas dan membunuh cahaya mata yang semakin redup tenggelam, dalam air mata yang tak henti mengalir.

"istigfar, Cep.. istigfar..", rintih lemah suara sang ibu bergetar, cukup kuat untuk menggetarkan teralis yang hanya bisa menyaksikan drama tragis tak tentu akhir itu.

"Goblog siah, Bogel dibere dahareun anu kieu patut!!", teriakan sang pemuda begitu lantang dan bengis, cukup hentak untuk menggetarkan teralis yang hanya bisa melindungi tubuh sang ibu dari jauh.  Seorang lelaki tua menghampiri dengan setengah berlari. Lelaki itu, sang ayah, dengan ragu menatap wajah sang pemuda. Nanar hatinya melihat ekspresi wajah kebencian anaknya. Tak habis pikir, sebenci apa sang anak, atau kebencian dari mana, sehingga terpampang ekspresi yang tak pernah muncul sebelumnya, dan berharap tak ingin lagi dilihatnya sesudahnya. Tapi tetap saja. Tiga tahun bukan masa yang cukup lama untuk melenyapkan keheranan sang ayah.

"Anjeun saha?" sapa sang ayah lembut, selembut seorang ayah memanggil buah hati kecilnya untuk berlari menghampiri sang ayah dengan tangan terbuka lebar.

"Aing Bogel, naon siah tatanya??!", sang pemuda berteriak, mata sang ayah meredup, kemudian wajahnya berpaling. Ia mengangkat tubuh istrinya, lalu membawanya ke ruang tamu. Dari situ terdengar tegas hentakan teralis dipukul, berulang. Entah dengan apa sang pemuda memukul-mukul teralis. Mungkin dengan tangannya, mungkin dengan kakinya, mungkin dengan kepalanya. Suara itu, berulang, dengan jeda yang melambat. Satu menit, dua menit. Suara itu berhenti. Sunyi. Dingin. Suara angin luar menggantikan kegaduhan. Suara angin menyampaikan tawanya atas drama yang tak tahu dimana ujungnya. Sang ibu masih terisak, hingga tertidur.

Hampir setiap hari.

***

Sang ayah menghampiri kamar pemuda itu. Dari jauh bau tak sedap sudah tercium, aroma yang sudah biasa bagi sang ayah. Sudah tiga tahun sejak pemuda yang terkenal paling sopan dan santun oleh orang-orang sekampung itu sakit tak terduga, tak pernah terduga oleh siapapun yang pernah mengenalnya. Sudah tiga tahun sejak ia keluar dari sekolah asramanya.Bbelum sempat lulus, hanya beberapa minggu sebelum ujian akhir sekolah diselenggarakan. Sebagian bilang pemuda itu stress menjelang ujian nasional. Ada juga yang bilang bahwa sang pemuda mengkaji bacaan dari sebuah buku tua berwarna merah yang tak terjangkau akal pikirannya. Sang ayah yang paling tak menduga. Harapnya sang pemuda menjadi orang yang jauh lebih baik setelah lulus. Nyatanya sang ayah mesti besusah payah lebih dalam lagi untuk menggali hikmah dan kebaikan yang terpendam dari takdir pahit ini.

Sang ayah berbelok ke kamar mandi, mengambil tongkat pel dan seember air yang telah dicampur pewangi lantai. Ia menghampiri kamar teralis itu. Lantainya sudah basah tergenang, kotoran berserakan. Rantai borgol sudah tidak lagi memagut kedua tangan sang pemuda. Ia masih duduk menyudut --mungkin masih tertidur, di dalam kaus kedodoran yang sudah lusuh. Sang ayah mengalirkan air sedikit demi sedikit ke dalam kamar, dari lubang pintu, tak ingin membangunkan anak laki-laki pertamanya itu. Zahirnya mata sang pemuda sudah terbuka entah sejak kapan. Sang ayah berhenti mengalirkan air. Ia melihat pemuda itu, memberikan senyum, sedikit ragu, tapi dengan tulus. Sang pemuda tersenyum menampakkan  gigi depannya.

"Halo Mang Ajus", sapa sang pemuda, menyembulkan tangan kanannya dan mengangkatnya.

"Saha ieu?" sang ayah menunjuk dadanya.

"eh.."

"Ieu saha?" ulang sang ayah.

"Eta Mang Ajus" jawab sang pemuda polos.

"Saha Mang Ajus teh?" sang ayah tenang.

"Eta gening, gelandang tengah Chelsea, jeung Mang Mahmud". Jawaban seperti biasa di pagi hari. Ia berkomat kamit, lebih seperti komentator acara bola. Sang ayah mengeduk semua yang ada di lantai keluar melalui celah teralis. Menyiram lantainya beberapa kali. 

"Sshh.. tiris keneh" menggigil di dalam sepotong kaus kedodoran, tangannya dimasukkan ke dalam baju, kakinya juga. Kepalanya sesekali dibenturkan ke tembok. Menggigil. Angin pagi tertawa-tawa di sela ketiaknya.

"Mii.. lapar..". Sang ibu membawa segelas kopi hangat, sebungkus nasi dan tempe, menyimpannya di lantai, mendorongnya melalui sela-sela teralis. Sang pemuda menghampiri. Membuka bungkusan keresek dan melahapnya suap demi suap. Sang ibu, dengan tatapan berkaca-kaca tersenyum, memasukkan tangannya menggapai kepala sang pemuda, membelai lembut perlahan rambutnya yang panjang keriting berantakan sepundak, seperti wig yang sering digunakan badut-badut kota untuk beratraksi, hanya saja lebih tebal dan warnanya hitam kemerahan. Sang pemuda menyeruput kopi hangat hingga tersisa setengahnya, lalu melanjutkan makan.

Sinar mentari perlahan masuk melalui jendela, merayap di lantai, menghampiri wajah sang pemuda, membalas senyumnya. "Haneut haneut.." sang pemuda mendekati jendela. "Luki rek maen bola ayeuna, geus nepi ka final" bangkit berdiri lalu kencing di lubang jendela.

Cahaya mentari hangat, menghangatkan udara seruangan. Angin luar kini masuk lebih ramah, membelai rambut kusut sang pemuda. Ia tersenyum ringan, senyum tanpa beban. Yang keluar dari mulutnya sekarang adalah kisah tentang sepak bola. Ia berkisah seolah baru menyelesaikan sebuah pertandingan, menjadi gelandang tengah. Sesekali ia mengomentari keeper tim lawannya yang tidak becus menjaga gawang hingga berhasil dibobol tujuh angka. Dedaunan pohon pisang yang berdiri tegak di depan jendela seolah berdiri sorak mengangkat tangan-tangannya mendukung kemenangan sang pemuda di arena hijau pikirannya. Sang pemuda ikut berdiri meloncat-loncat, membuka bajunya seperti pemain bola yang hendak bertukar seragam dengan pemain lain.

Sang ibu hanya bisa menatap dari balik teralis sandiwara yang tengah asyik dimainkan sang pemuda. Sang ayah menghampiri. Mereka berdua duduk bersandar, di tembok yang nasi lemparan tadi malam sudah mengering. Entah menikmati adegan di panggung jeruji ataukah menunggu adegan terakhir yang mungkin masih berpuluh bahkan beratus episode lagi akan diperankan sang pemuda. Tak ada orang lain yang merisaukan seperti risaunya kedua orang tua ini, bahkan saudara-saudara sang pemuda, apalagi kerabat jauh dan teman-temannya.

Sang pemuda melirik kedua paruh baya itu dari dalam kamar. Ia tersenyum seolah dunia berputar seperti biasa. Rona wajahnya memancarkan kesegaran pagi. Ia tersenyum, seakan ingin menunjukkan keberhasilan kepada para penonton yang juga membalas senyumnya dari luar lapang. Sayang tak ada seorang pun dapat memastikan apakah senyumnya itu masih sama dengan senyum yang senantiasa tersungging mengiringinya dahulu meraih gelar pemuda tersopan di desa.

"Goooll.." sang pemuda berteriak kegirangan.

***

Untuk sahabatku Cecep Kurnia,
Yakinlah yang terbaik dari Allah,
meski mungkin kau tak lagi merisaukan hal itu..

0 tanggapan:

Posting Komentar

terima kasih sebelumnya untuk tanggapannya ^_^