Ditinggal Wafat Istri
Saat tulisan ini ditulis, sudah 8 bulan sejak kematian istri saya. Istri saya wafat pada tanggal 19 Desember 2019. Bulan-bulan awal adalah situasi yang sangat menyedihkan. Ga perlu dijelaskan bagaimana menyedihkannya karena memang sulit. Tapi satu hal yang selalu membuat saya merasa harus kuat adalah ingatan saya kepada Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, yang punya perjalanan hidup yang jauh lebih berat dibanding apa yang saya sedang alami. Saya ditinggal wafat istri saya, sedangkan Rasulullah ditinggal wafat istri pertamanya Khadijah radhiyallahu anha dan juga paman terkasihnya Abu Thalib, yang selama itu mengurus, mendukung dan melindungi beliau selama berdakwah di Makkah. Keduanya meninggalkan Rasulullah di tahun yang sama. Lebih jauh lagi beliau sudah ditinggal ibu dan ayahnya sejak lama, dittinggal kakeknya juga. Allah masih menyisakan untuk saya 3 orang anak yang lucu dan baik, juga masih punya orang tua yang lengkap. Sedangkan Rasulullah diuji dengan ditinggal wafat semua anak-anak laki-lakinya saat kondisi masih balita. Kalau aku harus larut dalam kesedihan, maka sesungguhnya Rasulullah-lah yang jauh lebih pantas untuk berlarut dalam kesedihan. Tapi beliau tampil di depan ummat dengan gerakan move on yang luar biasa. Tiadalah beliau dapat demikian kecuali karena bergantungnya hanya kepada Allah, sehingga Allah menguatkan dan meneguhkan hati beliau. Maka dari itu, sudah sepantasnya bagi saya untuk juga bergantung hanya kepada Allah, dan memohon kekuatan kepadaNya.
Itu adalah satu paragraf yang akhirnya bisa saya tulis dan saya ringkas tentang perjalanan move on saya setelah ditinggal istri. Awalnya ingin dibuat artikel khusus. Tapi saya lebih ingin larut dalam doa mendoakan istri saya daripada larut dalam dalam sedih dan ratapan. Maka titik ini adalah titik move on saya atas kondisi tersebut. Bismillah.
Belajar Lagi Ilmu Nikah
Kira-kira sejak bulan ke-3 setelah kematian istri, baru mulai terpikirkan untuk menikah lagi. Terutama setelah salah satu guru saya menasihatkan kepada saya untuk menikah lagi. Beliau berkata, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal saja menikah lagi di hari ke-3 setelah ditinggal wafat istrinya. Saat itu saya bilang kalau saya tidak sesoleh Imam Ahmad. Beliau lalu menimpali dengan bilang, "Ya minimal amalan menikah laginya dicontoh" hehe..
Setelah itu saya mulai berpikir untuk menikah lagi. Tapi banyak pertimbangan, jauh lebih banyak ketimbang saat mau menikah dulu. Sekarang saya punya anak tiga. Ada banyak kekhawatiran apakah istri saya nanti akan dapat berinteraksi dengan baik dengan anak-anak saya. Belakangan hal ini tidak terlalu menjadi kerisauan karena setelah bulan ke-4 saya mulai terbiasa dengan kondisi anak-anak sekarang yang tanpa ibu. Wildan dan Milki tinggal bersama saya di rumah mamah dan mamah yang lebih banyak mengurus mereka terutama saat saya pergi bekerja. Kia anak ketiga saya tinggal bersama ibu mertua saya dan saya selalu menengok dia satu sampai dua kali seminggu (yang mestinya lebih sering karena jarak dari rumah mamah ga jauh, cuma beda dua desa saja). Artinya istri baru saya mestinya tidak akan terlalu diberatkan nantinya setelah kami menikah.
Namun kemudian ada pemikiran baru, apakah ada wanita yang mau menikah dengan duda anak tiga hahaha.. teman-teman saya menghibur dengan berkata bahwa usia saya masih relatif muda untuk menikah lagi. Harusnya untuk saya tidak sulit menemukan pasangan hidup baru. Oke, itu cukup menghibur hehe..
Dari situ akhirnya saya mulai belajar lagi ilmu nikah. Saya upgrade pemahaman saya. Saya banyak mendengar materi-materi nikah dari para asatidz di Youtube, diantaranya dari ustadz Nuzul Dzikri dan ustadz Felix Xiauw. Ternyata banyak persepsi baru yang selama ini saya tidak miliki. Banyak muncul juga penyesalan di dalam diri, kenapa dulu selama 10 tahun menikah dengan Rinei saya tidak begini dan begitu. Saya berusaha keras menerima diri saya yang sangat banyak kekurangan dan kesalahan selama 10 tahun menikah. Akhirnya saya bisa menerima itu sebagai hasil belajar dari pengalaman saya. Kedepannya seharusnya saya bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Gagasan tentang Taaruf
Saya berdiskusi dengan banyak kawan dan sahabat saya. Salah satunya N yang juga tetangga seberang rumah saya. Dia belum menikah. Usianya mungkin 1-2 tahun di bawah saya. Dia membawa konsep taaruf sebelum menikah. Taaruf yang dimaksud adalah berkenalan lebih dalam dengan calon pasangan, baik itu sudah pernah kenal ataupun belum. Untuk teman taaruf yang baru kenal, kita menggunakan media CV taaruf. CV ini mirip seperti CV yang biasa kita gunakan saat melamar pekerjaan ke sebuah perusahaan. Isinya ada profil pribadi, riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, plus beberapa tambahan seperti gambaran fisik pribadi, harapan gambaran calon pasangan, visi misi pernikahan dan gambaran setelah menikah. Tujuan CV ini untuk menjadi filter awal kecocokan dengan calon pasangan nanti. Jadi sebelum bertemu atau berkomunikasi langsung, akan ada pihak penengah (biasanya asatidz di sebuah lembaga atau komunitas) yang akan mencocokkan CV laki-laki dan perempuan. Harapannya supaya saat dihubungkan untuk proses taaruf dan berdiskusi bisa lebih cepat dan fokus ke pembahasan yang lebih dalam.
Awalnya saya berpendapat lebih baik menikah dengan orang yang sudah pernah kenal sebelumnya. Sehingga penyesuaiannya bisa lebih mudah. Tapi N mengatakan justru proses taaruf, plus dengan bantuan CV taaruf ini kita bisa kenal lebih dalam, jauh lebih dalam dibanding dengan orang yang kita anggap pernah kenal sebelumnya. Dari CV taaruf saja sudah tertuang hal-hal spesifik dan cukup mendalam tentang calon pasangan kita. Di tahap taaruf pun masing-masing pihak sudah dalam kondisi siap membuka diri memberi penjelasan tentang kondisi yang perlu diketahui oleh lawan bicara. Satu hal yang juga penting, proses ini mesti ditempuh dalam koridor aturan syari, seperti tidak boleh berkhalwat, harus ada pihak ketiga yang menemani. Hal ini nampaknya akan sulit diterima bagi penganut kenalan dengan berpacaran.
Belakangan saya tawarkan gagasan taaruf ini kepada salah seorang sahabat saya S yang juga belum menikah. Dia adalah teman seangkatan di pesantren. Dan dia termasuk yang sulit untuk menerima gagasan taaruf ini. Alasannya karena katanya beda circle. Orang-orang yang menjalani proses taaruf ini biasanya ada di lingkaran santri, anak-anak remaja hijrah dan kalangan soleh lain yang dia merasa dia tidak cukup soleh untuk menempuh proses ini. Selain itu, dia juga berpikir akan sulit untuk menemukan kecocokan hanya dari proses yang singkat seperti ini. Dia harus mengenal calon pasangan dengan mengobrol lebih dalam dan intensif sampai ketemu kecocokan atau ketidakcocokannya.
Satu hal yang saya garis bawahi dari penjelasan S adalah, bahwa pernikahan itu adalah ibadah yang lama, sehingga tidak baik bila tergesa-gesa dalam mengambil keputusan siapa yang akan menjadi pasangan kita nantinya. Lebih baik menunggu sedikit lebih lama daripada terburu-buru menikah tapi akhirnya tidak bahagia karena menikah dengan pasangan yang tidak pas. Pendapat ini saya aminkan, sehingga yang tadinya saya cukup bersemangat untuk menyegerakan menikah, akhirnya mulai lebih tenang untuk melakukan persiapan lebih matang lagi. Saya pun memutuskan untuk belajar lagi. Saya merasa masih ada kepingan puzzle yang belum lengkap untuk hal ini.
Update Belajar Ilmu Menikah
Di hari saya menulis tulisan ini, saya mengikuti materi seminar dengan tema nikah. Seminar pertama adalah event Kuliah Pra Nikah online yang diselenggarakan oleh @KUASkuad. Seminar yang pertama diselenggarakan di waktu siang setelah waktu sholat zuhur. Kuliah pranikah ini sudah saya mendaftar beberapa hari sebelumnya dan merupakan rangkaian materi selama 3 hari kedepan.
Kuliah Pra Nikah materi pertama diisi oleh ustadz Hendra Ubay dan ustadz Rifky Jafar Thalib. Bentuknya lebih ke talkshow menjawab pertanyaan-pertanyaan umum seputar pranikah. Event ini disiarkan via Instagram live. Ada beberapa poin penting yang saya garisbawahi dari materi ini yang paling berkesan buat saya.
Pertama terkait kriteria kecocokan dengan calon pasangan. Awalnya saya punya kesimpulan bahwa kita harus memilih pasangan yang cocok dengan diri kita. Kecocokan ini mesti dibahas dari banyak sudut pandang, mulai dari level pemahaman agama, latar belakang keluarga, tingkat ekonomi, kesehatan fisik dan psikis, sampai penampilan fisik. Saya melihat ada tantangan untuk menggali kecocokan seperti ini, bahwa butuh waktu yang entah berapa lama untuk taaruf sampai kita merasa cocok atau tidak cocok. Ketika sudah merasa cocok pun, akan ada kekhawatiran akan hal-hal yang tidak dapat kita gali dan ketahui. Terkait kekhawatiran ini terjawablah di dalam kuliah materi pertama ini.
Ada pertanyaan seperti ini: "Kalau tidak pacaran ga akan bisa kenalan". Jawaban dari ustadz Rifky seperti ini. Bahwa persepsi itu adalah syubhat yang hari ini tengah menjangkiti kaum muda kita. Islam adalah pedoman hidup yang lengkap. Untuk urusan sederhana seperti makan dan buang air saja ada aturan rincinya. Apalagi urusan ibadah besar seperti nikah, maka mestilah Allah memberikan sarana untuk menempuh itu. Konsep yang ditawarkan oleh Islam adalah taaruf, yakni bertanya kepada calon pasangan terkait banyak hal sebelum menikah. Melalui taaruf ini, tentu kita tidak akan tau semua hal. Statemen beliau yang menarik tentang hal ini adalah bahwa dibalik ketidaktahuan kita tentang perkara yang tidak dapat diketahui selama taaruf, itu tersimpan husnuzhan kita kepada Allah atas calon pasangan kita. Saat itulah kita diuji oleh Allah bagaimana kita mampu berprasangka baik kepada Allah, bahwa tidak mungkin pasangan kita jauh dari sifat kita. Wanita baik untuk laki-laki baik, dan sebaliknya, sebagaimana firman Allah terkait hal ini. Tambahan dari kesimpulan pribadi saya tentang hal ini, bahwa ketika kita menerima pasangan kita melalui proses yang baik dengan niat yang baik, maka disitulah letak kepasrahan kita kepada Allah, bahwa kita yakin Allah selalu memberikan yang terbaik untuk kita.
Ada satu lagi pertanyaan menarik di sessi ini. Bagaimana tanggapan atas penyataan "bila kita menjalani proses taaruf yang cuma sebentar ini, bagaimana mungkin pertemuan sebentar ini bisa cinta sama calon pasangan. Saya kan butuh cinta nikah ini. Bagaimana saya menikah dengan orang yang tidak saya cintai?" Ustadz Rifky menjawab begini, "Nikah itu landasannya bukan cinta. Menikah itu landasannya taqwa." Bukan berarti menikah itu tidak butuh cinta, tapi ketika menikah itu landasan pondasinya taqwa kepada Allah, maka cinta yang tumbuh nanti adalah cinta yang suci, bukan cinta dari syahwat.
Ustadz Rifky kemudian mengisahkan shahabat Abu Dzar al-Ghifari, sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam yang dipuji oleh Nabi sebagai shahabat yang mulia, berwibawa dan punya kedudukan di sisi manusia dan di sisi Rasulullah. Ketika Abu Dzar hendak menikah, beliau berkata pada teman-temannya "Saya mau menikah, tolong carikan untukku wanita yang mengerti agama". Itu adalah standar dari Abu Dzar, hanya satu, paham agama. Ga ngasih kriteria lain yang lebih spesifik seperti tampang, nasab dan status ekonomi. Kemudian salah seorang temannya, dengan niat bercanda berkata "saya punya budak perempuan, hitam, jelek, tapi paham agama". Candaan ini diseriusin sama Abu Dzar dengan menjawab "Saya mau". Teman-temannya kaget. Dan beneran menikah. Karena yang dicari oleh manusia sekelas Abu Dzar bukan cinta karena fisik. Belakangan teman-teman Abu Dzar datang lagi untuk mengetes Abu Dzar dengan berkata "Kamu ga mau menikah dengan wanita yang cantik?". Abu Dzar kemudian menjawab "Istriku ini, dia yang membangunkanku ketika aku tertidur, dan dia yang mengingatkan aku ketika aku lupa, dan dia yang menguatkanku ketika aku lemah. Kalau nanti kalian tau bagaimana indah wajah istriku ini ketika Allah masukkan ia ke dalam surga, maka kalian akan menyesal kenapa bukan kalian yang dulu menikahinya". Maa syaa Allah. Artinya, cinta itu sesuatu yang dimunculkan setelah pernikahan, bukan sebelum menikah. Boleh sih cinta sebelum menikah. Tapi jangan sampai karena belum tumbuh cinta sebelum menikah, membuat kita jadi mengurungkan niat untuk menikah.
Tambahan dari saya, bahwa kita perlu ingat salah satu nasihat dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam "Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian." Ini adalah nasihat untuk pihak wanita dan keluarga wanita. Kriteria utamanya sama, agama. Kita tetap tidak boleh menafikan juga nasihat lain dari Rasulullah supaya melihat dulu pasangan kita sebelum memutuskan untuk menerima atau melamar. Artinya faktor kecocokan dari sudut pandang yang lain selain agama juga sangat diperbolehkan bahkan dianjurkan mencari yang setara. Bila ada sedikit kejomplangan, maka perlu dibicarakan sejak awal.
Maka pemahaman baru saya tentang hal ini adalah, bahwa kriteria itu boleh ada dan spesifik, tapi tidak mesti terlalu saklek. Asal pemahaman dan pengamalan agamanya baik sebagai kriteria agama, dan sekiranya kita dapat menerimanya pada kriteria yang lain yang masih bisa dikompromikan, maka jangan sia-siakan. Setelah itu, garis bawahi hal ini, bertawakkal dan berprasangka baiklah kepada Allah, bahwa Allah akan selalu menolong dan membimbing kita karena kita menikah dengan niat ibadah dan dengan landasan taqwa. Ini adalah jawaban atas kekhawatiran saya yang sebelumnya tentang hal-hal yang tidak memungkinkan diketahui selama proses taaruf.
Terakhir terkait pembahasan ini, di dalam surat Maryam ayat 96, Allah berfirman "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang."
Di dalam ayat tersebut Allah menggunakan huruf sa pada kalimat sayaj'alu yang artinya "akan". Kata cinta atau kasih sayang yang digunakan pada ayat ini juga menggunakan kalimat wuddan, bukan hubban. Tafsirnya adalah, bahwa rasa cinta akan ditumbuhkan setelah manusia melalui proses pernikahan.